Ketika membaca surat kabar harian
tertanggal 7 November, penulis teringat dengan peristiwa beberapa tahun yang
lalu tepatnya tahun 2007, pada waktu itu penulis sempat berbincang dengan WS Rendra (almarhum)
tentang bagaimana perkembangan dunia sastra, serta apa resep WS Rendra sendiri sehingga selalu nampak awet
muda, (saat itu Rendra ditemani Ken Zuraida istrinya), kami diterima dengan keramahan
dan keterbukaan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini tidak salah jika
bertepatan pada hari lahirnya tanggal 7 November 2012 sekaligus memperingati
meninggalnya sastrawan tersebut di Jawa Barat, 6 Agustus 2009 lalu pada umur 73
tahun, penulis ingin mengulas sedikit tentang sosok Rendra yang bisa menjadi
perenungan bagi kita semua khususnya penulis.
Bagaimana gaya Rendra berkiprah
di dunia sastra.? Kalo soal sastra, laki-laki yang dikenal dengan julukan
si Burung Merak ini memang tidak diragukan lagi kiprahnya di dunia
kesusasteraan. Rendra atau Willibrordus Surendra Broto Rendra yang lahir di
Solo, 7 November 1935. mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta 1967, serta
bengkel Teater Rendra di Depok.
Rendra berasal dari keluarga sederhana ayahnya
seorang guru dan ibunya seorang penari keraton. Masa kecil hingga remaja
dihabiskannya di Solo. Setamat SMA Rendra hijrah ke Jakarta untuk meneruskan
studi, karena akademi yang di tuju tutup. Rendra pergi ke Yogyakarta dan masuk
fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada.
Tidak lulus kuliah tidak membuat pria tersebut untuk berhenti belajar. Tahun 1954 dengan
mengantongi beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA), ia memperdalam
ilmu drama dan tari di Amerika. Ia juga mengikuti seminar kesusastraan di
Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra sudah nampak ketika
Rendra duduk dibangku SMP, tulisan seperti puisi, cerita pendek, drama sering
menghiasi sekolahnya. Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa
pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. sedangkan "Kaki Palsu" adalah
drama pertama yang dipentaskan. dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah
drama pertama Rendra yang mendapat penghargaan pertama dari Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.
Karya-karya Rendra tidak hanya
terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Bahkan banyak karyanya
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris,
Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di
luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan
1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner
Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988),
Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989),
World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Tidak salah memang kalau Prof. A.
Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa
dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam
salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau
Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan
kebebasan sendiri.
Dalam kehidupan pribadi, pria
yang dikaruniai 11 orang anak ini dari pernikahan pertama dengan Sunarti
Suwandi, kedua Sito Resmi dan ketiga Ken Zuraida, memiliki motto hidup bahwa
kunci awet muda adalah berpasrah diri, berfikir positif. (ketika penulis berbincang
dengan WS Rendra, resep awet muda dan kebahagian sastrawan tersebut).
Disini, penulis hanya ingin
mengungkapkan betapa manusia atau setiap orang memiliki cara tersendiri untuk
berkontribusi dan memberikan dedikasi kepada masyarakat. Satu puisi yang bisa
membuat kita sama-sama bisa merenung bagaimana cara seorang sastrawan jika
ingin mengemukan kritikan lewat bahasa yang kritis kadang terdengar sadis, tapi
tetap puitis atau berbunga, dan kadang ada yang bilang santun atau tabu, yang
pasti dalam sebuah karya sastra selalu ada moral message dibalik itu semua,
bermakna baik implisit maupun eksplisit. Dan itu yang ingin penulis coba
lakukan bahwa puisi bisa menjadi sebuah rekaman situasi, gambaran zaman,
kritikan evaluasi yang membangun, serta teriakan-teriakan tetap santun tanpa
senjata beruntun. Puisi juga bisa memberikan gelora atau membakar semangat,
dapat mencerahkan, ataupun nada sumbang keprihatinan, tapi satu tujuan yang
mulya adalah menyuarakan kebenaran dan dorongan kebaikan.
Kenapa kami menampilkan sosok WS
Rendra karena melalui karyanya penulis tergerak untuk memberikan kontribusi
kepada negara berupa sebuah dukungan, dukungan moral bahwa yang benar tetap
benar yang salah tetap salah, tidak dapat dicampur adukkan. Dan melalui
karya-karya para sastrawan penuis mampu memahami bagaimana potret masyarakat,
zaman, budaya, mengkaji, diluar pro dan kontra yang mewakili, karena produk
karya seni (sastra) mewakili gaya tersendiri. Dan seperti puisi yang
satu ini kami persembahkan kepada bangsa
Indonesia
Gelar Terbaik
Apa itu Gelar?
Gelar adalah sebuah Amanah
Amanah dari Tuhan Yang Maha Esa
Tuhan Yang Maha diatas Maha
Maha Mengetahui Apakah benar kita
butuh Gelar
Gelar Akademik atau Gelar
Keagamaan
Gelar Status Sosial atau Gelar
Kerajaan,
atau gelar-gelar lainnya
Yang Pasti!
Gelar Terbaik adalah Gelar
Khalifahtullah
Khalifah Allah yaitu Pemimpin
Pemimpin yang Amanah dan
Bijaksana
Bijaksana dalam bersikap,
bertutur, dan berketetapan
Ketetapan dalam satu arti
Artian atas nama kebaikan
Bicara tentang gelar, tanggal 7
November 2012 mungkin bagi keluarga besar Soekarno-Hatta Bapak Proklamator kita
dan juga bangsa Indonesia menjadi hari spesial yang paling ditunggu-tunggu,
yaitu dianugerahkannya Gelar Pahlawan Nasional, gelar yang paling tinggi untuk
dua proklamator itu dalam sebuah upacara kenegaraan di Istana Negara, Jakarta,
Rabu 7 November 2012.
Berdasarkan hasil kajian Dewan Gelar dan Kehormatan tahun
2012, gelar pahlawan nasional, menurut Undang-Undang diusulkan oleh
masyarakat,lembaga negara, pemerintah dan siapapun. dikutip Tribun Jogja No 570
tahun 2, Rabu Kliwon 7 November 2012.
Sumber: kolom.biografi.blogspot.com
tribun
0 Comments