Pameran Tunggal Lure & Rule

By poetry - 22.18

Kunjungi Pameran Tunggal Ronald Apriyan bertema Lure & Rule di Tirana Artspace, Jl Suryodiningratan No 53-55 Yogyakarta. Pameran akan dibuka Jumat, 29 Agustus 2014 oleh Yoshifumi Ogawa (pecinta seni asal Jepang). Ronald Apriyan seniman muda 35 tahun kelahiran Prabumulih, Sumatera Selatan menjadi salah satu mahasiswa ISI, Yogyakarta; Ronald tidak hanya seorang seniman, tetapi juga tercatat sebagai seorang aktivis organisasi kesenian, performer, penulis dan bahkan menjadi kurator. Dalam karyanya Ronald benar-benar ingin membebaskan diri dan pikiran dari aturan, beberapa karya (lukis atau performance art) kontroversial, sengaja untuk menarik publik seperti pameran ini menampilkan ‘Lure & Rule’. Beberapa pameran tunggal lukisannya ia gelar di sebuah toko roti (Jepang, 2007), di sebuah restoran (Yogyakarta, 2005) dan saat ini di sebuah butik, ya betul-betul sebuah toko pakaian. Ada 2 karya kanvas dan 13 karya drawing di atas kertas. Kepada poetryana.com Ronald menyampaikan, Lure disini memiliki padanan maknanya dalam bahasa kita sebagai me-ngumpan, memikat, menggoda dll. kata ini sangat akrab dengan saya karena sering dipakai dalam istilah 'Sport fishing' (memancing ikan), Lure tertuju langsung maknanya sebagai umpan yang saya gunakan. Lure sejatinya elemen yang penting dalam usaha untuk memperoleh ikan yang kita buru. Lure berupa ikan artifisial atau kodok dan banyak lagi jenisnya, mampu memberikan godaan yang luar biasa untuk ikan-ikan predator. dengan menggunakan tehnik melempar dan digulung ( tehnik casting) sehingga gerakannya menyerupai ikan yang sedang berenang. Apa bila terlihat ikan predator akan disambarnya ..blarrr mak gejubak..ikan tersebut terkait pada mata kail yang terpasang dibadan lure. Maka kita tinggal menggulungnya dengan cepat dan hati-hati sampai ketepian. Ronald secara pribadi memiliki pemaknaan khusus kepada istilah Lure, sejatinya ia memiliki korelasi yang penting dengan pameran ini. "Bagi saya ketika sekian lama tidak melakukan aktifitas berpameran, kesempatan ini menjadi sangat menggairahkan dan penuh semangat untuk kembali. Apa yang saya presentasikan lewat sebuah pameran tunggal tak ubahnya sedang berusaha mengumpan, memikat, dan mengoda para apresiator atau publik penikmat seni rupa Jogjakarta. Tapi ini hanyalah sebuah pengandaian yang sangat peribadi." Jika tidak terlalu berlebihan semoga mendapatkan “sambaran” yang luar biasa dari setiap karyanya. 

Rule sendiri seperti pemahan bersama kita secara sederhana bermakna sebagai aturan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai mahluk sosial tidak pernah lepas dari Rules atau aturan. Sejak kita bangun tidur hingga kita kembali tidur semuanya selalu disertai oleh aturan. Ronald tidak bermaksud mengurai satu-persatu segala jenis aturan yang dimiliki, perannya hanya sebagai individu yang mencoba membaca dan menimbang aturan tersebut. Pelukis sangat menyadari aturan terkadang menjadi  kenyataan tegas yang menggoda kita untuk melanggarnya.

Sejalan dengan pameran yang dipresentasikan di Tirana House ini. Kalau kita lihat dari luar secara jelas tempat ini terlihat dan nyata sebagai Butik fashion style. Sepintas tidak memasang atribut yang menawarkan produk keseni rupaan secara langsung. Gak ada bau-bau gallerynya, seperti yang biasa kita pahami. Namun bila kita masuk kedalam kita akan melihat disana pajang karya-karya seni rupa seperti drawing dan lukisan atau patung. Dari sini perupa merasa tertantang untuk keluar dari kebiasaan yang umum. Itu artinya perupa sedang mempresentasikan karya seni rupa bersamaan dengan display pakaian, celana, kemeja, pakaian dalam wanita, dll. Berhimpitan saling berbagi tembok sempit. Suasana yang tidak ideal untuk memandang karya seni apa bila dibandingkan dengan ruang pameran dalam aturan baku seni rupa. "Namun bagi saya keluar atau melanggar aturan ini bukanlah hal yang baru, karena sejujurnya sudah pernah sebelumnya saya lakukan. Kegiatan pameran seperti ini sedikit banyak memberikan pengalaman berbeda kepada karir kesenian saya. Sebagai perupa masih banyak yang harus saya pelajari termasuk melihat karya-karya saya diapresiasi oleh publik sebenarnya. Kepada pengunjung yang sebenarnya tidak secara khusus  datang ke Tirana House untuk melihat pameran."

Jadi “Lure and Rules” disini adalah sebuah usaha untuk melempar umpan (karya seni rupa) ke dalam butik fashion style. Mencoba mengoda para pengunjungnya untuk melihat dan menyambar dengan dasyatnya. Siapa yang bisa menduga?coba aja deh .

Nunuk Ambarwati dari Tirana House berkomentar soal karya Ronald secara tidak langsung menyatakan bahwa pemberontakan itu hal kreatif. Ronald Apriyan, seniman muda (35 tahun) kelahiran Prabumulih, Sumatera Selatan. 

"Perkenalan saya dengannya terdokumentasi di memori sejak puluhan tahun yang lalu (tahun 2000-an). Saat ia masih duduk sebagai mahasiswa ISI, Yogyakarta; Ronald yang saya kenal, boleh dibilang sosok anak muda yang selalu ‘gelisah’. Hingga kini ia tidak hanya ingin berada dalam satu ‘kotak’ tertentu. Maka ia tidak hanya seorang seniman, tetapi juga tercatat sebagai seorang aktivis organisasi kesenian, performer, penulis dan bahkan menjadi kurator."

Nunuk menambahkan, "bolehlah saya gambarkan Ronald sebagai sosok yang gemar dan bebas bereksplorasi. Tak puas hanya berkutat pada satu hal. Dan saya harus tekankan dan bahkan harus diberi garis bawah atau huruf kapital untuk kata bebas disini. Ronald benar-benar ingin membebaskan diri dan pikiran dari aturan atau wacana yang berkelindan sebagai seorang seniman. Bahkan saya sempat mencatat ada beberapa karya (lukis atau performance art) yang kontroversial, ia lakukan sengaja untuk menarik publik (baca juga penjelasan pengantar Ronald untuk pameran ini, ‘Lure & Rule’). Tanpa ia sadari, hal-hal tersebut membentuk karakter karya lukis yang ia produksi selama satu dekade perkenalan saya dengannya. Berikut tengok uraian alasan gambaran saya tersebut."

Dari sisi latar belakang pendidikan; dalam catatan biodata yang ia lampirkan, Ronald tercatat pernah menjadi mahasiswa dari tiga perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bagaimana ia ingin mempelajari banyak hal. Universitas Padjajaran Bandung (Fakultas MIPA), Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta (Fakultas Seni Rupa Keguruan) dan Institut Seni Indonesia (Fakultas Seni Murni minat Seni Lukis), Yogyakarta. Dari ketiga universitas tersebut, tak satupun ia selesaikan hingga lulus menjadi sarjana.

Ronald bukanlah seorang yang mau ‘berdiam’ pada satu fokus tertentu, seniman, performer, aktivitis organisasi, penulis dan kurator. Sebagai seorang kepala rumah tangga pun, Ronald seorang ayah yang baik dan membagi banyak waktunya untuk kedua anak dan istrinya. Disamping itu ia juga menyempatkan melampiaskan hobi memancing dan bermain bola. Komplit!

Pilihan atas ruang pamer. Pengakuannya kepada saya, Ronald lebih menyukai dan tertantang untuk mengeksplorasi ruang-ruang alternatif untuk mempresentasikan karya-karyanya. Maka ia tak segan ketika harus melakukan performance art di ruang publik. Bahkan beberapa pameran tunggal lukisannya ia gelar di sebuah toko roti (Jepang, 2007), di sebuah restoran (Yogyakarta, 2005) dan saat ini di sebuah butik, ya betul-betul sebuah toko pakaian. Pilihan atas ruang-ruang yang ia sadari benar konsekuensinya.

Karya. Maka ketika sampai pada pembacaan untuk karya-karya yang pernah ia ciptakan, saya sempat adu argumentasi dengannya, ‘mana benang merahnya?’, ujar saya waktu itu. Karena pada kurun waktu tertentu, Ronald berada pada di dunia X dan ketika bertemu kembali beberapa tahun kemudian Ronald berada di dunia Y. Pengalaman visual estetik saya untuk karya Ronald seperti sebuah roller coaster, dijungkir balikkan sedemikian rupa. Tahun tertentu minimalis, kemudian penuh teks, atau suatu saat gabungan antara keduanya. Bila Anda mengikuti jejak rekam karya Ronald, dimana ‘benang merah’nya? ‘Ada!’, sahutnya dengan mantap. Yang mana itu? Silakan penikmat seni mengapresiasi menurut versi Anda sendiri, karena saya juga ingin membebaskan imajinasi Anda. Sekali lagi bebas, demikian hal yang ingin Ronald kedepankan.

Ronald memang tak ingin ditekan pada aturan-aturan estetik seni rupa, berkali-kali ia ucapkan hal tersebut. Maka ia ingin membebaskan goresan garis-garis, keluar dari pakem, berontak dari prosedur standar. Dari warna yang ia pakai, komposisi, figur, ia tak ingin dikomando bahwa karyanya harus sesuai dengan kebutuhan tertentu. Meskipun kadang ia akui, pada titik tertentu ia harus kembali mempertimbangkan itu semua. Bahkan untuk ruang pamer yang ia pilih untuk mengekspresikan hasil karya, ia tak ingin berada pada sebuah ruang yang steril. Ambigu tentang bebas dari aturan memang tak terlepaskan. Tetapi setidaknya, Ronald sudah menyatakan sikapnya semaksimal ia bisa. Untuk itulah muncul tema ‘Lure & Rule’ (baca penjelasan Ronald Apriyan pada tulisannya untuk pameran ini).

Kurang lebih demikian beberapa hal yang bisa membentuk sebuah kesimpulan atas personal Ronald Apriyan. Tentang karya yang dipamerkan, saya harus memberikan apresiasi tambahan, khusus untuk karya-karya drawing yang ia pamerkan kali ini. Ada 2 karya kanvas dan 13 karya drawing di atas kertas. Di luar tema dan figur yang kita bicarakan, karya kertasnya kali ini pun tak luput dari berbagai eksplorasi media yang ia temukan. Mulai dari kertas yang dipakai hingga tinta yang digunakan. Kertas mana yang pas. Memakai tinta Cina atau tinta India. Teknik apa yang ia terapkan. Drawing bukan hal baru untuknya, periode 2003-2005 ia sudah berkutat dengan karya drawing pensil diatas kertas. Pengakuan atas prestasinya pun ia dapatkan di tahun 2002 saat mendapat penghargaan sebagai sketsa terbaik dari ISI, Yogyakarta.

Kenalilah kembali seorang Ronald Apriyan pada karya-karyanya yang dipamerkan saat ini. Semoga menginspirasi kita semua untuk semangatnya yang tak putus, untuk kebebasan yang selalu ingin dia capai di titik kulminasi yang entah. Yang justru membuatnya terus kreatif. Saya akhiri dengan kutipan kalimat Albert Camus yang harus dimaknai secara bebas dan bijaksana, bahwa Ronald Apriyan sebagai seorang ‘pemberontak yang kreatif’.  Disisi lain Nadia berpendapat, sebagai penggemar karya-karya seni rupa yang bisa dikategorikan dalam Pop Surrealisme, internet terutama dengan media sosialnya jadi wadah yang sesuai untuk memuaskan selera. Pop surrealisme menjadi sebutan lain untuk karya-karya seni rupa yang pada awalnya dikenal dengan sebutan lowbrow art. Istilah tersebut untuk menyebutkan karya-karya seni underground yang terinspirasi kebudayaan populer seperti komik underground dan musik punk  pada era 1970an di California. Saat lowbrow art berkembang dan istilah Pop Surrealism makin populer, pemahaman tentang identifikasi karya-karya seni rupa Pop Surrealisme juga makin berkembang dengan definisi beragam.
Secara sederhana Pop Surrealisme bisa dikatakan akan selalu terpengaruh oleh produk kebudayaan populer pada masanya. Kegemaran atau hobi menjadi objek kreatifitas para seniman Pop Surrealism. Seperti komik dan manga yang mulai booming pada tahun 70an akhirnya juga sedikit banyak mempengaruhi selera visual secara tidak langsung.

Budaya populer yang bersentuhan dengan internet membuat ekspansi komik dan manga semakin meluas dengan maraknya anime dan game. Internet yang semakin meluas penggunaannya pada era 90an membuat komik, manga, anime dan game juga menyebar secara luas. Pop Surrealism di Internet marak jauh sebelum media sosial booming di masyarakat umum. Munculnya blog dan situs seperti www.deviantart.com pada tahun 2000 menjadi wadah untuk kreativitas individu maupun komunitas terutama karya-karya dengan tema populer yang terpengaruh komik, manga, anime dan game. Penggemar tema-tema tersebut juga bertambah tanpa ada batasan umur dan wilayah. Seniman yang pada awalnya hanya diekspos di galeri mulai diekspos di dunia maya.

Batasan dalam seni menjadi kabur dalam seni rupa modern dan teknologi internet membuat batasan tersebut semakin tidak dibutuhkan, yang ada hanya menarik atau tidak menarik. Jumlah “follower” di media sosial seperti instagram bisa digunakan sebagai parameter penerimaan bentuk-bentuk visual dari karya-karya seni rupa Pop Surrealism. Sepertinya Pop Surrealism dan internet menjadi kombinasi yang sesuai melihat bentuk-bentuk visual yang muncul di internet. Pengaruh tersebut salah satunya bisa dilihat pada www.society6.com sebuat situs komersil yang mengkhususkan diri membuat cetak digital dari karya-karya seni rupa baik berupa framed art prints atau produk pakai (baju,cangkir,tas  dll). Ketik saja kata Pop Surrealism di mesin pencari Society6 maka akan muncul ratusan karya yang masuk kategori itu.

Seniman Pop Surrealism seperti Gary Panter, Robert William, Mark Ryden, Jeremy Fish, Audrey Kawasaki, Tara McPherson dan sebagainya  sepertinya memang memahami internet adalah jiwa jaman terkini yang tidak bisa diabaikan dengan membuat situs pribadi mereka untuk memperlihatkan kesenian yang mereka jalani. Saat media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram booming mereka juga menikmati hal tersebut dengan membuat akun di platform media sosial. 

Akun media sosial para seniman Pop Surrealisem membuat basis penggemar menjadi kuat dan luas karena melalui akunnya mereka tidak hanya memperlihatkan karya-karya seni yang mereka hasilkan tetapi juga proses kreatif, liputan media serta aktifitas berkesenian. Media sosial di Internet membuat penggemar bisa bersosialisasi dengan seniman yang disukai. Bersosialisasi bisa dilakukan tanpa mengenal batasan umur, ruang, waktu, ras, negara dan latar belakang. Proses berkesenian beberapa seniman bahkan diperlihatkan dengan jelas dan menarik mulai dari sketsa sampai karya selesai. Kemampuan teknik yang dimiliki, kekuatan konsep dalam berkarya semakin mengundang penggemar dan akhirnya menjadi patron dalam berkesenian mereka.

Saat jumlah penggemar yang ingin mengapresiasi karya mereka dengan cara memiliki semakin banyak, teknologi cetak digital menawarkan solusi. Batasan jumlah karya yang bisa dibuat setiap seniman serta permintaan untuk memiliki karya semakin meningkat membuat seniman menduplikat karyanya dengan jumlah yang ditentukan secara resmi menggunakan cetak digital dengan kualitas baik serta sertifikat untuk menjelaskan bahwa ini adalah “Fine Art Print”. Hal ini pada periode seni rupa sebelum maraknya teknologi cetak digital menjadi sesuatu yang tabu tidak berlaku.

Penerimaan teknologi internet dan digital oleh seniman Pop Surrealism era ini menunjukkan karakter mereka seperti yang terlihat pada karya-karyanya penuh warna dan bersemangat. Seniman Pop Surrealism di era ini  juga menyadari kekuatan dari media sosial di internet. Seperti mereka menyadari seni tumbuh bersama komunitas dan media sosial di internet mempunyai kemampuan tersebut. Mereka juga menjadi salah satu alasan media sosial tetap menarik untuk dikunjungi.

Sepertinya bisa dikatakan “Sky was the limit, bandwith is the limit.”

  • Share:

You Might Also Like

3 Comments