Kaitan RUU Pornografi & Pornoaksi Dengan Psikologi Remaja

By poetry - 00.07

Ketika RUU Pornografi dan Pornoaksi digulirkan banyak sekali pro dan kontra mengiringi, sebagai bentuk demokrasi Indonesia, bahwa perbedaan pendapat hendaknya dihargai dan dijadikan motivasi untuk mencari solusi terbaik, terpenting semua ditujukan untuk kemaslahatan umat atau kepentingan umum. Sudah menjadi kebiasaan, semua pihak memberikan statement sesuai dengan latar belakang, visi dan misi mereka. Dari para legislatif yang duduk dalam Dewan (DPR) hingga para pesohor, aktivis perempuan, tokoh ulama, para pekerja seni atau seniman yang notabene sebagai subyek pencetus embrio RUU tersebut juga tidak mau ketinggalan. Semua memiliki pendapat sendiri –sendiri, bagi yang pro atau setuju dengan RUU ini mengharapkan RUU ini segera disyahkan, tentu dengan landasan menjaga moral dan mental generasi penerus bangsa.

Ketakutan dengan adanya bentuk-bentuk pornografi dan pornoaksi agaknya tidak terlalu berlebihan, apalagi jika dibiarkan & ditumbuhsuburkan bisa merusak perkembangan jiwa generasi muda. Jika kita lihat banyaknya kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan, kejahatan, dan bentuk tindakan kriminal lainnya juga disebabkan karena efek negatif tayangan televisi, tampilan majalah, tabloid, surat kabar, karya fotografi, karya seni, novel erotis dsb-nya yang bersifat tidak mendidik (uneducated). Disamping itu ketakutan pula para orang tua akan perkembangan generasi muda, bukannya generasi beriman dan bertakwa yang ada tapi generasi penuh dengan kebejatan.

Di lain pihak, kubu yang berbeda dan berseberangan mengaku, bahwa RUU ini akan membikin para pekerja seni (seniman) berada dalam keresahan karena aktivitasnya mencari sesuap nasi menjadi pekerjaan yang begitu membahayakan / sumber malapetaka, dengan cap pornografi dan pornoaksi melekat pada diri mereka. Penyanyi jadi takut dengan suaranya, penari takut dengan goyangannya, fotografer takut dengan bidikan kameranya, kurator ragu-ragu dengan hasil ciptaannya, peragawati takut menampilkan rancangan busananya. Keraguan (doubtfulness), ketakutan (afraidness) membuat para creator (baca; pelaku) menjadi mandeg dan tidak optimal dalam menggarap pekerjaannya.

Sebenarnya kalau ditilik kembali RUU Pornografi dan Pornoaksi adalah bagus, memberikan satu wacana baru seiring dengan perkembangan zaman sehingga muncul fenomena-fenomena baru. Pada hakikatnya pembuatan UU bertujuan agar supaya perilaku manusia dalam bermasyarakat tidak keblabasan atau keluar dari rel agama, rel norma susila, norma kesopanan, dan tidak melanggar kepentingan umum. Ini sebagai bentuk sifat fleksibilitas dan inovatif dalam menjawab permasalahan yang ada. Pada intinya Rancangan Undang Undang ini memang diterima dengan baik namun kembali lagi dengan makna implikasinya serta visi dan misinya apakah sudah sesuai dan target audience-nya. Dan yang membuat ‘resah’ sebenarnya adalah akibat ketidakabsahan, terombang-ambing, tidak menentunya sistem. Lemahnya sistem (law enforcement) membuat pengadilan gampang menjatuhkan status seseorang menjadi tersangka . Selain itu lemahnya sistem juga membuat banyak kasus tidak terbuka bahkan teselesaikan secara hukum, semua mandeg di meja pengadilan apalagi diramaikan dengan para mafia pengadilan. Kalau RUU ini DPR ingin mendapatkan sorotan tajam, publikasi serba gratis dan laris manis dari media massa, menunjukkan bahwa mereka (baca: DPR) “sedang ingin bekerja” dan “sedang tidak tidur” karena dengan digulirkannya wacana ini DPR kini terlihat sibuk.

DPR sebagai lembaga tinggi negara bertugas membuat Undang-Undang sebagai wujud prestasi dari kinerja yang bagus. Menelorkan berbagai UU dan efektif mampu berimplikasi dalam kebijakan public, meski pada tahap uji coba amandemen dan ratifikasi obral dilakukan. Menyadari bahwa DPR sebuah lembaga yang sejatinya digawangi oleh anggota yang independen, transparan dan memegang teguh kejujuran, bijaksana, pengayom dan pekerja keras, maka bukan hal yang sulit memilah sebuah RUU memang perlu atau tidak dibuat / diluncurkan, ditinjau dari fungsinya. Disamping itu, kejelasan (clearness) apa, bagaimana dan siapa yang dituju untuk UU tersebut sehingga pokok-pokok dasar sudah terjawab.

Meski RUU Pornografi dan Pornoaksi sedang digodog dengan melibatkan para pihak yang terkait, diharapkan DPR berhasil menerjemahkan case ini dalam pasal-pasal dan butir-butir ayat sebagai penjelasannya, sehingga akan didapat definisi, batas-batas obyek pengkajian (baca: Pornografi dan Pornoaksi) terumuskan dalam Kitab Undang Hukum (KUH) sistematis dan efektif. Dan sesudahnya tinggal melalui proses apa yang dinamakan percobaan (trial). Apabila sukses dalam proper test (uji coba pelaksanaanya) , maka UU ini akan ditetapkan. Berkaitan dengan batas uji coba sepertinya masih terlalu dini dibicarakan, tapi “tanpa batas uji, berarti UU selalu mengalami perubahan ratifikasi, amandemen bersifat irresistable atau amoeba.

RUU Pornografi dan Pornoaksi saat ini memang menyedot perhatian public dan menjadi buah bibir bagi semua kalangan, adabaiknya dihargai sebagai bentuk aplikasi mikro dari negara demokrasi. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa jangan sampai produk UU yang dibuat DPR bersifat minim aplikasi saja. Jangan sampai UU baru hanya menambah list jajaran UU yang sudah ada. Diharapkan dengan perkembangan cognitive, psikomotor, rasa (sense of human) yang tinggi dari para legislatif, dan kesadaran semua pihak, UU yang ditetapkan benar-benar bersifat menyeluruh tanpa pandang bulu, dilaksanakan sebenar-benarnya.Yang perlu ditambahkan adalah UU yang ada, hendaknya mengikat semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Sanksi yang tegas, sistematis, efektif, transparan, tanpa pandang bulu akan menghindari terjadinya tebang pilih dalam pemberantasan pelanggaran hukum. Bagi masyarakat kesadaran tidak main hakim sendiri, bersikap spontanitas mematok palu benar / salah akan membuat kondisi negara lebih kondusif dalam payung hukum.

Pro dan kontra seputar RUU ini tidak akan menutup / blur permasalahan “nyata lainnya” yang saat ini dihadapi masyarakat kita yang tidak henti-hentinya didera dengan wabah penyakit menular / flu burung, gizi buruk, busung lapar, polio, demam berdarah, bencana alam, sutet dan sebagainya. Karena lagi-lagi yang dikorbankan adalah generasi mendatang, mencakup anak-anak, remaja- generasi penerus bangsa. Sebagai salah satu cara mengatasi segala permasalahan yang bermutasi setiap hari, hanyalah bekal pendidikan sejak dini akan rasa, moral/ agama, pengetahuan alam, dan teknologi. Disini peran serta orang tua sebagai pemberi tauladan bagi putra-putrinya.

Sehingga secara psikologi generasi mudalah yang terus dilindungi, diarahkan dan dikhawatirkan agar tidak terjerumus dalam narkoba (drugs), sex bebas, dsb. Salah satu faktor pencetus RUU Pornogarfi dan Pornoaksi didasarkan pada pemikiran ini. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali sebenarnya apakah kaitan RUU Pornografi dan Pornoaksi dengan Remaja ditinjau dari sisi Psikologi.

Remaja merupakan masa peralihan (usia berkisar 13 –18 tahun), dimana disebut sebagai anak-anak sudah tidak mungkin, disebut dewasa masih belum bisa. Masa Remaja adalah masa bagi seorang anak mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan cara; melakukan yang dilakukan orang, meniru apa yang dilakukan pujaannya. Terkadang ingin pamer, menarik perhatian dari orang sekitar juga ditempuh, dan ini menjadi stigma dari seorang remaja. Boleh dikatakan, masa remaja bahkan masa kanak-kanak menentukan perkembangan psikologi serta daya fikir seseorang yang nantinya berdampak pada kehidupan di masa mendatang. Sehingga orang tualah actor penting dari pembentukan jiwa anak.

Memberikan kesempatan kepada remaja untuk berkreasi, memberikan kepercayaan dan kebebasan yang bertanggung jawab serta memberikan wadah penyaluran bakat mereka adalah berbagai contoh tindakan orangtua sebagai motivator & supporter sejati bagi buah hatinya. Tidak ada standar mutlak perilaku bagaimana yang harus diambil orang tua untuk menghadapi anak-anak di masa peralihan ini. Namun pendidikan informal / formal, kasih sayang, memberikan teladan, sportivitas adalah hal kecil (minute) namun berimplikasi luas. Pendidikan dari rumah (baca: sejak dini) adalah modal utama cerminan perilaku nilai moral (moral value) para remaja. Jika orangtua sejak dini telah menanamkan pemahaman tentang agama (tidak dogmatis), maka anak tidak perlu diperingatkan terus - menerus tentang hal yang baik atau buruk. Pendidikan sejak dini sudah mendarah daging & tidak hanya bersifat hafalan saja. Sensitivitas, selektifitas sudah ada dalam urat syaraf, sehingga penentuan opsi terbaik begitu mudah diambil. Karena pemahaman baik / buruk, benar / salah; lebih utama karena dimaknai secara mendalam (bukan secara harfiah saja), dibanding pembelajaran dogmatis bahwa tindakan ini kategori baik/ benar - tindakan itu kategori salah/ buruk.

Selain peran orangtua, perkembangan psikologi anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya (cara pergaulannya) sehingga dengan siapa, bagaimana, dimana, sangat menentukan perilaku anak. Adalah hal utama membuatkan frame apa yang baik untuk pergaulan anak. Anak yang bergaul ditempat yang baik maka perilakunya baik. Sebaliknya anak bergaul dengan teman yang kurang baik, seperti merokok, tawuran, akan mudah terpengaruh melakukan tindakan kejahatan / kriminal. Memberikan pengertian dan teladan akan hak dan kewajiban, melatih anak bersikap mandiri.

Jika flashback peristiwa lalu, sebenarnya masalah kenakalan remaja mulai menjadi sorotan sejak dibentuknya suatu pengadilan untuk anak-anak nakal-juvenille court di tahun 1899 di Cook Country, Illinious, Amerika Serika. Pada waktu itu peradilan ini berfungsi sebagai parentis yang memberikan keputusan terkait keputusan permasalahan kepentingan anak dan masyarakat. Maka kenakalan anak dibawah umur 13 tahun adalah hal yang wajar dalam pandangan umum, sedangkan kenakalan anak diatas 18 tahun sudah dianggap sebagai bentuk kejahatan. Bahkan kejahatan kini dilakukan seorang anak, remaja terhadap orang sekitarnya. Ini semua karena anak –anak rutin dicekoki dengan tayangan-tayangan tidak mendidik. Waktu luang-pun dimanfatkan untuk melakukan hobi tidak berguna ini, seperti kebebasan bergaul, tertarik ajang coba-coba seperti merokok, minuman keras, menghisap opium/ shabu-shabu hingga mengarah pada sex bebas.

Banyak kasus yang terjadi sekarang, anak umur 6 tahun melakukan kejahatan pidana/ perdata. Pertanyaannya bagaimana peran pendidikan, peran orang tua, peran pemerintah, peran hukum dalam menjawab problem ini? Untuk permasalahan ini satu kuncinya adalah cinta dan kasih seperti yang dikatakan Errich Fromm “Love is the answer of human problem / human existence. Dimana cinta sebagai jawaban dari semua persoalan hidup, cinta bersifat universal / menyeluruh.

Namun, soal cinta terkadang salah diartikan bahwa cinta selalu dimaknai sebagai perilaku seksual; salah satunya dengan pendekatan pacaran. Sungguh mencengangkan gaya pacaran anak sekarang. Penyaluran kebutuhan biologis tidak terbendung lagi, akibatnya kasus MBA, kasus abosi semakin merebak. Bergesernya definisi taboo menjadi hal biasa atau trend mulai menggema di seluruh penjuru daerah. Juga mind sight bergesar penting tidaknya arti virginitas mulai menjadi trend (“virgin gak gaul” ). Ditambah lagi dengan kencangnya media menawarkan tontonan / bacaan bersifat vulgar, erotis/ porno. Adopsi budaya kebebasan mengikis budaya timur yang penuh tata krama/ aturan.

Fenomena yang ada disadari atau tidak mengahantarkan apa yang dinamakan era yang meng-global. Protective apa yang seharusnya dilakukan lembaga executif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, orang tua, tokoh agama, masyarakat, generasi muda adalah membangun dan mempertahankan benteng keimanan dan ketakwaan. Kesabaran, istiqomah memberikan pemahaman, pengertian kepada remaja serta memberikan sanksi positif yang tegas atas segala bentuk pelanggaran yang dilakukan anak sebagai alat evaluasi/ intropeksi diri (baca; anak dan orangtua). Sanksi tersebut bisa berupa teguran, peringatan agar anak jera mengulang perbuatan itu, dan tidak bermaksud menakut-nakuti tapi memberikan tauladan (hikmah).

Pola asuh anak sejak kecil memang berpengaruh pada perkembangan jiwa & cara berfikir anak. Pada proses peralihan / pencarian jati diri dalam interaksi sosial (bergaul antar teman sebaya) menjadikan remaja sebagai bagian dari manusia. Komunikasi efektif menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keberlangsungan proses ini. Komunikasi bisa dipelajari melalui inti pendidikan yaitu pengenalan santun, dalam package moral and norma. Sehingga media pendidikan efektif adalah komunikasi dalam rasa, fikir, moral & agama. Jikalau cara yang dipih adalah menetapkan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi, hendaknya kita review terlebih dahulu semua aspek yang ada, pendidikan, pola asuh anak (psikologi), dan peran pihak terkait sebagai pengambil & pelaksana kebijakan hukum.
(PAN,Yogyakarta, February 28th,2006)


Sumber:
1. Soerjono Soekanto, SH, MA, Prof. Dr., Remaja dan masalah-masalahnya, Penerbit PT BPK Gunung Mulia dan Yayasan Kanisius, Cetakan kelima, Jakarta, 1985
3. Errich Fromm, literary Works The Art of Loving, 1956
2. Errich Fromm, Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of Ethics, 1947
3. Errich Fromm, Escape from Freedom, 1941


  • Share:

You Might Also Like

0 Comments