Paradox, Novel
By poetry - 00.28
Novel Paradoks karya Ana Nadhya Abror adalah karya non fiksi. Karya ini merupakan sequel kedua dari Kabut di Kampus. Melalui bedah buku yang digelar pada hari Sabtu, (19/2) pukul 09.00-12.00 wib, di ruang seminar Fisipol UGM, Abror, sebagai penulis dan pembicara memberikan pendapat tentang karyanya.
Diawal diskusi Abror menjelaskan bahwa proses kreatif-nya bertolak dari keinginan membuat “kenyataan / kondisi kongkret”. Dalam diskusi buku tersebut, Bambang P.Jatmiko selaku pimpinan redaksi Sintesa dan Arie Sudjito, SIP., dosen komunikasi UGM turut memberikan tanggapan.
“Saya memang bukan seorang sastrawan sehingga didalam novel saya tidak banyak menggunakan kata-kata indah / bermakna simbolik. Berawal dari seorang wartawan saya berani menulis buku ini, sehingga gaya tulisan saya masih cara yang digunakan dalam kaidah jurnalistik”, demikian yang dikatakan Abror , diawal diskusi.
Arie Sudjito, dosen Fisipol UGM berpendapat bahwa “novel Paradoks merupakan karya yang menggambarkan fenomena kampus sebagai institusi pendidikan tertinggi. Ia menegaskan kebobrokan-kebobrokan yang terjadi dalam dunia kampus tergambar dalam novel Paradoks dan ini yang sedang terjadi di kampus kita”, katanya. Menurut Bambang P.Jatmiko, novel Paradoks merupakan karya sastra postbirokrasi, dimana novel Paradoks tersebut memuat idealisme versus pragmatis. Akan tetapi beberapa hal masih menjadi kekurangan mengapa penulis hanya menggambarkan kebobrokan moral dari pengajarnya dalam hal ini professor. Seperti halnya ketika penulis sama sekali tak menyentil mengenai masalah yang sebenarnya lebih mendasar daripada malpraktik professor. Biaya pendidikan, kurikulum , merupakan masalah yang sangat mendasar terkait dengan kualitas dari sebuah system pendidikan yang lebih besar, ketimbang masalah pelacuran akademik yang sebenarnya tak lebih runyam dibandingkan dengan kebijakan pendidikan yang tak populis tersebut, demikian diungkapkan Bambang.
Mengenai antusiasme mahasiswa untuk mengikuti bedah buku tersebut , ditandai dengan banyaknya mahasiswa dari berbagai bidang studi . Yang cukup menarik komunitas pembaca sastra (KOPATA) mengkritik bahwa karya Abror ini bukan merupakan karya non fiksi, disamping itu mengomentari pula kealpaan Abror yang bernada menjudge bahwa UGM adalah UY (kampus tempat terjadinya malpraktik).
Novel paradoks memang bukan novel untuk konsumsi publik, akan tetapi untuk kalangan tertentu, seperti aktivis, non aktivis dan kaum intelektual. Akan tetapi keberadaan novel ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan serta perbukuan kita, apalagi novel Paradoks merupakan salah satu bentuk genre sastra baru Poskolonial. Di akhir diskusi-nya Arie Sudjito menambahkan bahwa karya yang baik dilihat dari seberapa besar respon pembaca terhadap ide dari novel tersebut.(PAN, February 15th, 2005)
Diawal diskusi Abror menjelaskan bahwa proses kreatif-nya bertolak dari keinginan membuat “kenyataan / kondisi kongkret”. Dalam diskusi buku tersebut, Bambang P.Jatmiko selaku pimpinan redaksi Sintesa dan Arie Sudjito, SIP., dosen komunikasi UGM turut memberikan tanggapan.
“Saya memang bukan seorang sastrawan sehingga didalam novel saya tidak banyak menggunakan kata-kata indah / bermakna simbolik. Berawal dari seorang wartawan saya berani menulis buku ini, sehingga gaya tulisan saya masih cara yang digunakan dalam kaidah jurnalistik”, demikian yang dikatakan Abror , diawal diskusi.
Arie Sudjito, dosen Fisipol UGM berpendapat bahwa “novel Paradoks merupakan karya yang menggambarkan fenomena kampus sebagai institusi pendidikan tertinggi. Ia menegaskan kebobrokan-kebobrokan yang terjadi dalam dunia kampus tergambar dalam novel Paradoks dan ini yang sedang terjadi di kampus kita”, katanya. Menurut Bambang P.Jatmiko, novel Paradoks merupakan karya sastra postbirokrasi, dimana novel Paradoks tersebut memuat idealisme versus pragmatis. Akan tetapi beberapa hal masih menjadi kekurangan mengapa penulis hanya menggambarkan kebobrokan moral dari pengajarnya dalam hal ini professor. Seperti halnya ketika penulis sama sekali tak menyentil mengenai masalah yang sebenarnya lebih mendasar daripada malpraktik professor. Biaya pendidikan, kurikulum , merupakan masalah yang sangat mendasar terkait dengan kualitas dari sebuah system pendidikan yang lebih besar, ketimbang masalah pelacuran akademik yang sebenarnya tak lebih runyam dibandingkan dengan kebijakan pendidikan yang tak populis tersebut, demikian diungkapkan Bambang.
Mengenai antusiasme mahasiswa untuk mengikuti bedah buku tersebut , ditandai dengan banyaknya mahasiswa dari berbagai bidang studi . Yang cukup menarik komunitas pembaca sastra (KOPATA) mengkritik bahwa karya Abror ini bukan merupakan karya non fiksi, disamping itu mengomentari pula kealpaan Abror yang bernada menjudge bahwa UGM adalah UY (kampus tempat terjadinya malpraktik).
Novel paradoks memang bukan novel untuk konsumsi publik, akan tetapi untuk kalangan tertentu, seperti aktivis, non aktivis dan kaum intelektual. Akan tetapi keberadaan novel ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan serta perbukuan kita, apalagi novel Paradoks merupakan salah satu bentuk genre sastra baru Poskolonial. Di akhir diskusi-nya Arie Sudjito menambahkan bahwa karya yang baik dilihat dari seberapa besar respon pembaca terhadap ide dari novel tersebut.(PAN, February 15th, 2005)
0 Comments