JAFF sebagai sebuah festival film bertaraf Internasional yang berfokus pada sinema Asia, kembali digelar pada 1 – 6 Desember 2014 di Yogyakarta. Pada pelaksanaan yang ke-9 ini, tema yang diangkat adalah "Re-Gazing at Asia” (Menatap Ulang Asia).
Festival film ini pertama kali digelar pada 2006 atas inisiasi dari tokoh-tokoh yang tak asing di dunia sinema seperti Garin Nugroho, Budi Irawanto, Philip Cheah, dan Ifa Isfansyah. Tahun ini, pelaksanaan festival diselenggarakan di beberapa lokasi yaitu Empire XXI, Taman Budaya Yogyakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, dan empat desa di Yogyakarta: Giriloyo, Nitiprayan, Sidoakur, dan Banyusumilir, yang menjadi lokasi Open Air Cinema.
Re-Gazing at Asia diangkat sebagai tema The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dalam rangka menggarisbawahi peran penting para sutradara dan produser perempuan yang membantu publik memandang-ulang Asia lewat sentuhan afeksi serta dijiwai oleh semangat kesetaraan.
“The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) tak hanya menggarisbawahi munculnya sutradara perempuan Asia, tapi juga meneguhkan pentingnya perspektif ‘perempuan’ dalam memandang persoalan perempuan dan jagad sosial melalui lensa sinematik” bilang Budi Irawanto.
“Karenanya, ‘Re-Gazing at Asia’ (Menatap Ulang Asia) dipilih sebagai tema JAFF tahun ini yang menegaskan keniscayaan melihat Asia dengan melawan cara pandang stereotipikal, patriarkis dan cenderung menguasai pihak lain, imbuh pria yang menjabat sebagai Festival Director ini.
Meskipun film pembuka festival ini, Like Father Like Son, disutradarai oleh sineas laki-laki Jepang, Hirokazu Koreeda, namun film ini berkutat pada masalah keluarga di ranah domestik yang selama ini secara stereotipikal dianggap ranah perempuan.
Sementara sebagai penutup akan ditayangkan film Snowpiercer (Bong Joon-Ho), yang merupakan bagian dari spesial program bertajuk A Glimpse of Current Korean Cinema, hasil kerjasama dengan Korean Cultural Center (KCC).
Selain film tersebut, selama festival berlangsung akan ada 2 film peraih box office di Korea Selatan lainnya yang akan ditayangkan yaitu Miss Granny (Hwang Dong-Hyeuk) dan Roaring Currents (Kim Han-Min).
Memfokuskan diri pada Asia bukan berarti JAFF lantas melupakan begitu saja film-film yang berasal dari Indonesia sendiri. Bahkan tahun ini diadakan program baru sebuah bertajuk Wajah Baru Sinema Indonesia Hari Ini (The Faces of Indonesian Cinema Today).
“Program baru ini dibuat karena kami melihat geliat pertumbuhan dan keragaman tawaran sinema Indonesia dewasa ini, sehingga kami tergerak untuk menangkap dan membingkainya.” jelas Ismail Basbeth.
“Secara sinematik film-film dalam program tersebut dipilih atas dasar keberanian para pembuat film menyentuh ranah yang berbeda; baik dalam konteks dan tema cerita yang dipilih ataupun pilihan estetika yang berani dan segar, berjejak pada kondisi sosial budaya yang beragam.” demikian ungkap pria yang di festival ini menjadi Program Director JAFF .
Selain itu, di The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) akan ada sebuah penghargaan baru, Student Award, yang meberikan kesempatan pada mahasiswa-mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi untuk menonton bersama film-film yang dilombakan lalu memberikan penilaian bersama.
Hal lain yang bari diterapkan pada JAFF tahun ini adalah adanya sistem pembelian tiket seharga Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) untuk menonton pertunjukkan di Cinema XXI dan Taman Budaya Yogyakarta.
“Berdasarkan antusias penonton di tahun sebelumnya yang luar biasa, kami ingin menciptakan tolok ukur yang baru dengan mengadakan tiket berbayar. Asumsinya, dengan datang dan membayar, para penonton film tersebut telah berusaha dan berkorban lebih, dengan demikian mereka akan lebih menghargai filmnya", bilang Managing Director JAFF, Ajish Dibyo.
“Dengan ada tambahan effort untuk menonton, maka dengan sendirinya audience dapat dibedakan antara mana yang benar-benar datang dan ingin menonton film, serta mana yang tidak. Hal tersebut adalah salah satu bentuk edukasi agar masyarakat lebih menghargai filmmaker dan karyanya. Mengingat proses pembuatan film itu tidak murah baik secara tenaga, waktu, dan biaya".
Re-Gazing at Asia diangkat sebagai tema The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dalam rangka menggarisbawahi peran penting para sutradara dan produser perempuan yang membantu publik memandang-ulang Asia lewat sentuhan afeksi serta dijiwai oleh semangat kesetaraan.
“The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) tak hanya menggarisbawahi munculnya sutradara perempuan Asia, tapi juga meneguhkan pentingnya perspektif ‘perempuan’ dalam memandang persoalan perempuan dan jagad sosial melalui lensa sinematik” bilang Budi Irawanto.
“Karenanya, ‘Re-Gazing at Asia’ (Menatap Ulang Asia) dipilih sebagai tema JAFF tahun ini yang menegaskan keniscayaan melihat Asia dengan melawan cara pandang stereotipikal, patriarkis dan cenderung menguasai pihak lain, imbuh pria yang menjabat sebagai Festival Director ini.
Meskipun film pembuka festival ini, Like Father Like Son, disutradarai oleh sineas laki-laki Jepang, Hirokazu Koreeda, namun film ini berkutat pada masalah keluarga di ranah domestik yang selama ini secara stereotipikal dianggap ranah perempuan.
Sementara sebagai penutup akan ditayangkan film Snowpiercer (Bong Joon-Ho), yang merupakan bagian dari spesial program bertajuk A Glimpse of Current Korean Cinema, hasil kerjasama dengan Korean Cultural Center (KCC).
Selain film tersebut, selama festival berlangsung akan ada 2 film peraih box office di Korea Selatan lainnya yang akan ditayangkan yaitu Miss Granny (Hwang Dong-Hyeuk) dan Roaring Currents (Kim Han-Min).
Memfokuskan diri pada Asia bukan berarti JAFF lantas melupakan begitu saja film-film yang berasal dari Indonesia sendiri. Bahkan tahun ini diadakan program baru sebuah bertajuk Wajah Baru Sinema Indonesia Hari Ini (The Faces of Indonesian Cinema Today).
“Program baru ini dibuat karena kami melihat geliat pertumbuhan dan keragaman tawaran sinema Indonesia dewasa ini, sehingga kami tergerak untuk menangkap dan membingkainya.” jelas Ismail Basbeth.
“Secara sinematik film-film dalam program tersebut dipilih atas dasar keberanian para pembuat film menyentuh ranah yang berbeda; baik dalam konteks dan tema cerita yang dipilih ataupun pilihan estetika yang berani dan segar, berjejak pada kondisi sosial budaya yang beragam.” demikian ungkap pria yang di festival ini menjadi Program Director JAFF .
Selain itu, di The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) akan ada sebuah penghargaan baru, Student Award, yang meberikan kesempatan pada mahasiswa-mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi untuk menonton bersama film-film yang dilombakan lalu memberikan penilaian bersama.
Hal lain yang bari diterapkan pada JAFF tahun ini adalah adanya sistem pembelian tiket seharga Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) untuk menonton pertunjukkan di Cinema XXI dan Taman Budaya Yogyakarta.
“Berdasarkan antusias penonton di tahun sebelumnya yang luar biasa, kami ingin menciptakan tolok ukur yang baru dengan mengadakan tiket berbayar. Asumsinya, dengan datang dan membayar, para penonton film tersebut telah berusaha dan berkorban lebih, dengan demikian mereka akan lebih menghargai filmnya", bilang Managing Director JAFF, Ajish Dibyo.
“Dengan ada tambahan effort untuk menonton, maka dengan sendirinya audience dapat dibedakan antara mana yang benar-benar datang dan ingin menonton film, serta mana yang tidak. Hal tersebut adalah salah satu bentuk edukasi agar masyarakat lebih menghargai filmmaker dan karyanya. Mengingat proses pembuatan film itu tidak murah baik secara tenaga, waktu, dan biaya".
“Dana yang terkumpul dari pembelian tiket ini, seluruhnya akan untuk penyelenggaraan festival. Sehingga diharapkan kelak JAFF tak selalu tergantung pada perusahaan/lembaga tertentu, namun tapi bisa bertahan sendiri karena dihidupkan oleh publiknya sendiri.” pungkas pria yang telah aktif di JAFF sejak pelaksanaannya yang pertama beberapa tahun lalu.
JAFF tidak hanya mengukuhkan dirinya sebagai festival film internasional di Indonesia, tapi telah dikenal di negara-negara Asia. Itu terbukti dengan masuknya lebih dari 300 judul film dari seluruh Asia. Dari jumlah tersebut, akhirnya diilih 75 film dari 18 negara yang berpartisipasi di The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) kali ini, dan beberapa dari judul film tersebut juga telah masuk nominasi festival-festival film bergengsi lainnya.
Seluruh film tadi akan ditayangkan dalam program-program utama festival ini yang terdiri atas:
ASIAN FEATURE
Adalah pemutaran sekaligus kompetisi bagi film-film panjang Asia. Program ini menganugerahi Golden Hanoman, Silver Hanoman, dan Geber Award bagi film panjang terbaik Asia.
LIGHT OF ASIA
Program khusus untuk penggiat film-film pendek Asia baik eksebisi maupun kompetisi. Award untuk kompetisi ini adalah Blencong Award.
ASIAN IN FOCUS
Memilih film-film dari suatu negara di Asia yang memiliki pencapaian yang layak dicatat, lalu itu dan memutarnya untuk memberikan apresiasi yang tinggi. Serta tak ketinggalan mengundang pelaku film dari negara tersebut untuk diskusi dengan para penggerak film Indonesia. Jepang adalah negara yang terpilih untuk program Asian in Focus tahun ini dengan menyuguhkan 7 film yaitu Like Father, Like Son (Koreeda Hirokazu), Jinsei Irodori (Osamu Minorikawa), Tamako In Moratorium (Nobuhiro Yamashita), Fukuchan Of Fuku-Fuku Flats (Yosuke Fujita), Leaving On The 15th Spring (Yasuhiro Yoshida), Japan’s Tragedy (Masahiro Kobayashi), dan That Night’s Wife Director (Yasujiro Ozu).
THE NEW FACES OF INDONESIAN CINEMA TODAY
Program pemutaran khusus film-film Indonesia yang dipilih berdasarkan keberanian para pembuat film tersebut menyentuh ranah yang berbeda; baik dalam konteks dan tema cerita yang dipilih ataupun pilihan estetika yang berani dan segar, berjejak pada kondisi sosial budaya yang unik dan beragam.
STUDENT AWARD
Merupakan sebuah program yang baru di pelaksanaan tahun ini, di mana pada program ini memberikan kesempatan pada para mahasiswa dari ISI Yogyakarta, MMTC, AMIKOM, AKINDO, AKRB, dan Jogja Film Academy menonton kemudian memberikan penilaian secara argumentatif film-film pendek yang dikompetisikan. Hasil dari penilaian tersebut untuk diwujudkan dalam bentuk penghargaan berupa Student Award ini.
Adapun di jajaran juri yang terlibat dalam penyelenggaraan tahun ini terbagi atas empat kelompok, yaitu: Juri JAFF (Hanung Bramantyo, Olin Monteiro, Makbul Mubarak), Juri NETPAC (Yosep Anggi Noen, Francis Joseph Cruz a.k.a Oggs Cruz, David Hanan), Juri Film Komunitas (Astu Prasidya, Bambang Kuntoro Murti a.k.a Video Robber, Alia Damaihati), dan Juri Film Pendek (Kamila Andini, Osamu Minorikawa, Derek Tan).
Selain program-program utama tadi, JAFF menawarkan pula kegiatan-kegiatan khusus yang tak kalah menarik, seperti:
OPENING/CLOSING NIGHT
Malam pembukaan dan penutupan yang dikemas berbeda dan spesial karena beberapa kesenian lokal akan dihadirkan sebagai pengisi acara.
PUBLIC LECTURE
Merupakan salah satu karakter JAFF yang tidak melulu fokus pada pemutaran film, namun juga diselenggarakan forum diskusi/seminar tentang sinema Asia dan Indonesia.
OPEN AIR CINEMA
Kegiatan ini adalah menyelenggarakan pemutaran film di beberapa desa di sekitar Yogyakarta, dengan cara mendirikan layar tancap. Sehingga film-film populer yang menghibur rakyat pada kegiatan ini akan langsung menyapa penduduk di empat desa yang telah dipilih tahun ini.
COMMUNITY FORUM
JAFF tumbuh dan besar karena kekuatan komunitas, karenanya disetiap
penyelenggaraannya JAFF selalu mengundang komunitas film dari berbagai daerah untuk saling berinteraksi dan mempresentasikan perkembangan komunitasnya.
FESTIVAL CORNER
Festival Corner adalah ruang bagi komunitas-komunitas selain komunitas film untuk turut serta menterjemahkan film ke dalam berbagai bentuk karya seni lain.
Seluruh program dan kegiatan The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan para mitra antara lain Japan Foundation, Korean Cultural Center, Taman Budaya Yogyakarta, Cinema XXI, Bentara Budaya Yogyakarta, kawan-kawan media, dan pemimpin serta masyarakat Giriloyo, Nitiprayan, Sidoakur, dan Banyusumilir, yang mendukung dan membantu terlaksananya festival ini. (28/11/2014)
0 Comments